Reality distortion field
Sudah bukan perdebatan lagi jika Steve Jobs disebut – sebut sebagai
Inventor nomer wahid di dunia. Padahal kalau dipikir – pikir apa yang
diciptakan “hanyalah” gadget sederhana dengan pilihan warna hitam atau
putih, ditambah embel – embel icon apel bekas digigt dan seperangkat
“teknologi” terpadu.
Manfaat produk apple terbesar pastinya dirasakan Steve Jobs sendiri dan
rombongan stakeholder perusahaan, secara Apple perusahaan paling kaya
dan profit saat ini.
iPhone, iPad dan iPod mungkin tidak lebih penting dari rice cooker,
lemari es, mobil atau barang lain yang diperlukan kaitannya dengan
pemenuhan kebutuhan manusia secara primer dan sekunder. Tetapi saat ini
keperluan manusia bukan sebatas “bisa” makan, kerja dan hidup mudah.
Kita menempatkan “Life Style” sebagai bagian dari kebutuhan sehari –
hari, walaupun menuntut alokasi budget yang melebihi biaya keperluan
pokok lainnya. Khususnya di Indonesia, terjadi fenomena unik, seseorang
yang mempunyai gaji 2 juta sebulan, bisa gonta ganti gadget dan smart
phone, termasuk memiliki iPhone 5 keluaran terbaru. Fenomena seperti ini
adalah satu ceruk besar bagi siapa saja yang mampu melihatnya. Mungkin
inilah yang membedakan Steve Jobs dengan visioner dunia lainnya.
Kemampuan melihat “masa depan” ini disebut orang sebagai “Reality distortion field”.
Apa itu Reality distortion field? Kalau diterjemahkan mungkin artinya
distorsi realitas lapangan. Maksudnya kurang lebih kemampuan menembus
batas dan melampaui apa yang orang awam anggap mustahil dan mengada –
ada. Bagi kebanyakan orang kemampuan ini dianggap ngawur atau minimal
nyentrik. Reaksi kebanyakan adalah geleng – geleng kepala, mencibir atau
garuk kepala terheran – heran. Bagi orang atasan atau kelompok
pengusung status quo, orang seperti Steve Jobs akan di anggap anti
kemapanan dan membahayakan zona aman dan nyaman. Makanya orang – orang
seperti Steve Jobs akan terlihat sangat egoistis, keukeuh, berkaca mata
kuda seperti tidak mau mendengarkan masukan orang lain. Padahal apa yang
terjadi adalah, proses pembentukan visi hingga mampu mewujudkannya
menjadi sebuah penemuan baru adalah proses inkubasi penyerapan berbagai
masukan. Masalahnya pada waktu itu belum ada yang mampu menerima visi
gila tersebut karena lingkungan memang sedang berjalan dengan nilai –
nilai realitas yang sudah dianggap sempurna atau paling tidak saat ini
dianggap cara yang terbaik.
Steve Jobs adalah pribadi yang sama dalam hal pengelolaan pergolakan
visi dengan para pendahulunya seperti Thomas Alpha Edison, Galileo,
Leonardo Davinci dan beberapa seniman seperti Van Gogh, Paul Cezane,
Piet Mondrian atau Pablo Picasso. Menjadi orang seperti mereka memang
tidak mudah, mungkin dalam 100 tahun Cuma ada 10 orang. Tapi bukannya
mereka lebih luar biasa dari orang kebanyakan sebenarnya. Bukannya
mereka punya IQ yang super atau kesaktian tersembunyi. Yang harus kita
pelajari dari mereka sebenarnya sikap hati dalam menghadapinya. Kenapa
begitu? Karena kendala bukan saja datang dari luar, tetapi kendala
terbesar justru datang dari diri sendiri. Keraguan, ketakutan dan rasa
serba tidak nyaman untuk berbeda sebenarnya yang menenggelamkan
seseorang untuk berkesempatan menjadi lebih besar bahkan terbesar.
Berapa banyak kita melihat dalam lingkungan kita, manusia – manusia
kecil yang mempunyai bakat talenta yang luar biasa. Tetapi berapa banyak
dari mereka yang dapat mengembangkan dirinya sehingga menjadi orang
dewasa yang luar biasa. Bisa menjadi penemu hebat, seniman besa,
pemimpin ulung dan lain sebagainya. Manusia kebanyakan seperti kumpulan
ikan cakalang di laut, berenang bergerombol dalam jumlah besar menuju
suatu destinasi. Sampai atau tidaknya tujuan, benar atau salahnya jalan
yang dilalui tidak menjadi soal, asalkan tetap dalam komunitas, ikut
kebiasaan kelompok, ikut dan meyakini persepsi kebanyakan, dan akhirnya
takut untuk berbeda baik itu berbeda pikiran, gagasan, pendapat bahkan
walaupun kita tahu apa yang sedang kita renungkan adalah jalan atau cara
yang lebih baik dari aturan, dogma dan persepsi yang ada.
Inspirasi yang bisa kita ambil dari sifat Reality
distortion field ini adalah, bagaimana kita tidak menyerah untuk berani
berbeda walupun terlihat konyol sekalipun. Dan bagi kita yang kadung
sebagai komunitas cakalang yang tidak bisa lepas dari “kebenaran”
mayoritas, minimal kita bisa memperlakukan anak – anak kita dengan lebih
arif. Memang terpuji cara anda untuk memenuhi segala keperluan mereka,
memfasilitasi dan menambah keterampilan ekstra agar mereka berprestasi,
tetapi alangkah lebih baik lagi jika kita menjadi penanggung jawab yang
senantiasa mampu menyalurkan kreatifitas dan segala potensi yang ada,
mengapresiasi, mendukung dan mendoakan agar kelak mereka menjadi orang –
orang besar yang mempunyai manfaat bagi kemajuan dirinya, lingkungannya
dan umat manusia dalam skala penilaian manusia hidup di dunia, sejarah
dan tentunya dalam pandangan Tuhan, menjadi sebaik – baiknya manusia
untuk alam semesta. Aaminn,
0 komentar:
Posting Komentar