Rabu, 14 November 2012

Mengenang Steve Jobs, Bukan Karena Gadgetnya Saja Reality distortion field

Reality distortion field
 
Sudah bukan perdebatan lagi jika Steve Jobs disebut – sebut sebagai Inventor nomer wahid di dunia. Padahal kalau dipikir – pikir apa yang diciptakan “hanyalah” gadget sederhana dengan pilihan warna hitam atau putih, ditambah embel – embel icon apel bekas digigt dan seperangkat “teknologi” terpadu. 
 
 
 
Manfaat produk apple terbesar pastinya dirasakan Steve Jobs sendiri dan rombongan stakeholder perusahaan, secara Apple perusahaan paling kaya dan profit saat ini.
iPhone, iPad dan iPod mungkin tidak lebih penting dari rice cooker, lemari es, mobil atau barang lain yang diperlukan kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan manusia secara primer dan sekunder. Tetapi saat ini keperluan manusia bukan sebatas “bisa” makan, kerja dan hidup mudah. Kita menempatkan “Life Style” sebagai bagian dari kebutuhan sehari – hari, walaupun menuntut alokasi budget yang melebihi biaya keperluan pokok lainnya. Khususnya di Indonesia, terjadi fenomena unik, seseorang yang mempunyai gaji 2 juta sebulan, bisa gonta ganti gadget dan smart phone, termasuk memiliki iPhone 5 keluaran terbaru. Fenomena seperti ini adalah satu ceruk besar bagi siapa saja yang mampu melihatnya. Mungkin inilah yang membedakan Steve Jobs dengan visioner dunia lainnya. Kemampuan melihat “masa depan” ini disebut orang sebagai “Reality distortion field”.
Apa itu Reality distortion field? Kalau diterjemahkan mungkin artinya distorsi realitas lapangan. Maksudnya kurang lebih kemampuan menembus batas dan melampaui apa yang orang awam anggap mustahil dan mengada – ada. Bagi kebanyakan orang kemampuan ini dianggap ngawur atau minimal nyentrik. Reaksi kebanyakan adalah geleng – geleng kepala, mencibir atau garuk kepala terheran – heran. Bagi orang atasan atau kelompok pengusung status quo, orang seperti Steve Jobs akan di anggap anti kemapanan dan membahayakan zona aman dan nyaman. Makanya orang – orang seperti Steve Jobs akan terlihat sangat egoistis, keukeuh, berkaca mata kuda seperti tidak mau mendengarkan masukan orang lain. Padahal apa yang terjadi adalah, proses pembentukan visi hingga mampu mewujudkannya menjadi sebuah penemuan baru adalah proses inkubasi penyerapan berbagai masukan. Masalahnya pada waktu itu belum ada yang mampu menerima visi gila tersebut karena lingkungan memang sedang berjalan dengan nilai – nilai realitas yang sudah dianggap sempurna atau paling tidak saat ini dianggap cara yang terbaik.
Steve Jobs adalah pribadi yang sama dalam hal pengelolaan pergolakan visi dengan para pendahulunya seperti Thomas Alpha Edison, Galileo, Leonardo Davinci dan beberapa seniman seperti Van Gogh, Paul Cezane, Piet Mondrian atau Pablo Picasso. Menjadi orang seperti mereka memang tidak mudah, mungkin dalam 100 tahun Cuma ada 10 orang. Tapi bukannya mereka lebih luar biasa dari orang kebanyakan sebenarnya. Bukannya mereka punya IQ yang super atau kesaktian tersembunyi. Yang harus kita pelajari dari mereka sebenarnya sikap hati dalam menghadapinya. Kenapa begitu? Karena kendala bukan saja datang dari luar, tetapi kendala terbesar justru datang dari diri sendiri. Keraguan, ketakutan dan rasa serba tidak nyaman untuk berbeda sebenarnya yang menenggelamkan seseorang untuk berkesempatan menjadi lebih besar bahkan terbesar.
Berapa banyak kita melihat dalam lingkungan kita, manusia – manusia kecil yang mempunyai bakat talenta yang luar biasa. Tetapi berapa banyak dari mereka yang dapat mengembangkan dirinya sehingga menjadi orang dewasa yang luar biasa. Bisa menjadi penemu hebat, seniman besa, pemimpin ulung dan lain sebagainya. Manusia kebanyakan seperti kumpulan ikan cakalang di laut, berenang bergerombol dalam jumlah besar menuju suatu destinasi. Sampai atau tidaknya tujuan, benar atau salahnya jalan yang dilalui tidak menjadi soal, asalkan tetap dalam komunitas, ikut kebiasaan kelompok, ikut dan meyakini persepsi kebanyakan, dan akhirnya takut untuk berbeda baik itu berbeda pikiran, gagasan, pendapat bahkan walaupun kita tahu apa yang sedang kita renungkan adalah jalan atau cara yang lebih baik dari aturan, dogma dan persepsi yang ada.
Inspirasi yang bisa kita ambil dari sifat Reality distortion field ini adalah, bagaimana kita tidak menyerah untuk berani berbeda walupun terlihat konyol sekalipun. Dan bagi kita yang kadung sebagai komunitas cakalang yang tidak bisa lepas dari “kebenaran” mayoritas, minimal kita bisa memperlakukan anak – anak kita dengan lebih arif. Memang terpuji cara anda untuk memenuhi segala keperluan mereka, memfasilitasi dan menambah keterampilan ekstra agar mereka berprestasi, tetapi alangkah lebih baik lagi jika kita menjadi penanggung jawab yang senantiasa mampu menyalurkan kreatifitas dan segala potensi yang ada, mengapresiasi, mendukung dan mendoakan agar kelak mereka menjadi orang – orang besar yang mempunyai manfaat bagi kemajuan dirinya, lingkungannya dan umat manusia dalam skala penilaian manusia hidup di dunia, sejarah dan tentunya dalam pandangan Tuhan, menjadi sebaik – baiknya manusia untuk alam semesta. Aaminn,

sumber : viva.co.id
 

0 komentar:

Posting Komentar